Manusia terdiri atas dua unsur yang tak bisa terpisahkan yaitu jiwa dan raga, atau ruh dan jasad. Masing-masing unsur memerlukan kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Jasad manusia yang terdiri dari anatomi tubuh dalam bentuk yang paling sempurna di antara makhlukNya. Tubuh memerlukan input makanan, polesan, bahkan kebutuhan biologis. Namun, manusia bukan hanya orientasi jasad semata. Tak cukup hanya dengan memenuhi hasrat memenuhi nafsu perut dan syahwat. Dibalik kebutuhan mendasar itu, tersimpan kebutuhan utama untuk kelangsungan eksistensi sebagai manusia sejati. Pantaskah manusia yang hanya memenuhi kebutuhan tubuhnya saja disebut manusia? Tentu tidak! Ia sama saja layaknya binatang, yang cuma makan, minum, tidur, dan kawin.
Miris, saat masyarakat kita hanya orientasi pada “daging” semata. Lihatlah betapa massifnya serangan kultural media yang membentuk asumsi bahwa manusia harus dipoles sedemikian rupa hingga menghabiskan waktu dan biaya dalam hidupnya untuk memoles diri. Berlebihan! Wanita-lah yang sering menjadi sasaran utama para kapitalis komersialis ini. Iklan perawatan tubuh mulai dari ujung rambut hingga mata kaki semua menjadi objek pemuasan hasrat “daging” semata. Media mendikte bagaimana caranya agar hidup bahagia dengan hanya sibuk memoles jasad, padahal ia hanya tempat bersemayamnya ruh sementara. Bagaimana ia memenuhi kebutuhan jiwa nya yang hakiki, sementara ia telah gelap mata lebih dari binatang yang hanya memuaskan nafsu perut dan seks belaka.
Lihatlah betapa manusia-manusia di luar nuraninya, berpandangan bahwa seks itu kebutuhan yang utama. “Daging” wanita yang dipertontonkan lewat televisi atau ruang maya dianggap sebagai seni bernilai tinggi yang “sayang” jika harus ditutupi. Mblegedes ! Dunia ini memang tengah diisi manusia berhasrat lebih dari binatang. Berzina bukan lagi dianggap sebagai aib atau dosa besar, akan tetapi terus tumbuh dalam lingkaran setan tak berkesudahan. Minuman keras dan narkoba menjadi sumber segala kemaksiatan.Dibalik semua kebutuhan biologis manusia tersimpan potensi yang lebih besar meliputi ruh atau jiwa yang mesti diisi dengan kedekatan manusia sebagai hambaNya, terlebih sebagai makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain. Semenjak dulu cara pandang terhadap manusia telah terbagi menjadi dua, Golongan pertama beranggapan bahwa esensi manusia bukanlah pada tubuhnya, tetapi pada entitas lain yang dinamakan jiwa.
Golongan kedua beranggapan sebaliknya, kebahagiaan dan esensi diri manusia justru terletak pada tubuhnya. Jadi, nikmatilah tubuh manusia dan menikmatinya sepuas mungkin. Pandangan yang kedua inilah yang dimakan “daging oriented”. Ternyata cara pandang ini bermula dari kisah penciptaan Adam, saat itu Iblis membangkang tidak mau bersujud kepada Adam karena dibuat dari tanah. Iblis mengganggap dirinya lebih mulia karena dibuat dari api. Jangan-jangan jika kita hanya menganggap manusia hanya seonggok daging saja tanpa asupan jiwa, kita sama saja dengan pengikut Iblis. Na’udzubillahi min dzalik!
Bukankah tidak adil jika hanya sibuk memoles diri, memenuhi kebutuhan jasmani, bahkan memuaskan hasrat birahi? Menyedihkan! Mempercantik diri dengan make up berkelas, membiarkan rambut tergerai dan aurat diumbar demi kepuasan “daging” semata. Sedangkan entitas lain yang paling esensial begitu saja diabaikan. Jiwa dianggap tak ada. Hingga tak pernah terlibat dalam kedekatan dengan Tuhannya, bahkan jiwanya nyaris mati, hati nuraninya telah Allah tutup untuk selamanya.Jangan biarkan diri kita terjebak oleh cara pandang keliru dalam memahami esensi diri sebagai manusia. Bukan hanya sekedar menutupi kebutuhan biologis, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengisi jiwa dengan kesungguhan mencari hakikat hidup, agar tak menyesal di kemudian hari. Saat semua anggota bdan kita bicara dan bersaksi di akhirat kelak...(ref:muhasyabah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar