Rabu, 20 April 2011

Dunia yang Mengasikkan

Dan tidaklah kehidupan dunia, kecuali senda gurau dan bermain-main, padahal sesungguhnya akhirotlah merupakan kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mau mengetahui.” (AL-Qur-an; 29:64).
Dunia ibarat bayangan yang makin dikejar makin jauh dan menjauhi kebenaran. Lazimnya bayangan tidak menunjukan keadaan sebenarnya, bahkan bayangan untuk menyembunyikan kebenaran.
Kalau kemampuan ilmu dipadukan dengan iman, ihsan, kebajikan, maka sudah sepantasnya pelakunya sanggup membedakan, mempertimbangkan dan menentukan pilihan yang tepat, mana yang asli dan mana yang bayangan yang hanya untuk sementara waktu. Kedudukan sosial yang layak sebagai warga masyarakat menjadi dambaan tiap orang beriman dan kekayaan perlu dimiliki supaya bisa menunaikan tugas bermasyarakat, menunaikan zakat, shodaqoh. Ilmu yang luas dan dalam wajib dikuasi supaya lebih banyak mengenal rahasia alam dan lebih akrab bergaul dengan alam. Namun semuanya bukan menjadi tujuan hidup di dunia, karena imbalan yang bersifat duniawi tidak selalu memberikan kepuasan dan ketentraman jiwa. Malah sering mendorong manusia makin tamak, kemewahan duniawi merangsang untuk menimbun kebendaan
dan kekuasaan, yang sudah banyak masih kurang lagi. Dunia yang semula sebagai sarana berbuat kebajikan berubah menjadi tujuan hidupnya Peringatan Nabi berbunyi :
“ Ambisi kepada kebendaan dunia menjadi titik awal datangnya bencana lainnya.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan Baihaqi).
Sungguh tepat sinyalemen Nabi, kalau mata hati sudah tertutup oleh kilaunya kemewahan dunia, manusia akan menghitung – hitung kekayaannya, jasanya, sehingga musuh yang sudah berada di dalam rumahpun tidak diketahuinya. Hilanglah kemandiriannya, iman pun tergadai di bawah indungan “Thoghut”, tak sanggup lagi berjuang menegakkan kebenaran, hatinya membeku, tak tergerak membela keluhuran agamanya, sifat pengecut menghalangi dirinya mempertahankan kemerdekaan Tanah air dan bangsanya. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi, dikutip oleh Lothrod Stoddard dalam “The New Word of Islam”, lebih di tandaskan sebab-sebab timbulnya sikap pengecut :
“Hampir datang saatnya bangsa-bangsa datang beramai-ramai memperebutkan kamu, ummat Islam, seperti berkumpulnya orang-orang yang memperebutkan makanan yang dihidangkan di atas pinggan besar.
”Para shohabat bertanya : “Mungkinkah ya Rosul Allah, ketika itu kami tinggal sedikit saja?” Nabi menjawab : “Tidak, jumlah kamu banyak, tetapi mutu kepribadianmu ketika itu seperti buih yang mengapung tanpa bobot mencekap jiwa kamu, sedangkan kekecutan sudak sejak lama dicabut dari hati musuhmu, disebabkan kamu terlampau mencintai keduniaan dan kamu membenci (takut) kematian.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).
Orang sudah tenggelam dalam kemewahan duniawi dan serba benda, melupakan fungsi kebendaan untuk membangun kebajikan, dia juga lengah untuk mensyukuri ni’mat Allah, padahal pada ni’mat yang datang jumlah yang banyak itulah ujian Allah. Makin banyak kemewahan yang diterimnya, maikn terbuai, makin banyak menimbun dosa. Maka tiba pula saatnya yang tepat bagi Allah untuk mencabutnya sekonyong-konyong, seperti firman-Nya :
“Maka ketika mereka melupakan semua peringatan yang telah disampaikan kepada mereka, Kami bukakan semua pintu kesenangan. Sehingga ketika mereka pada puncak kegembiraannya dengan ni’mat yang Kami berikan, ketika itu pulalah sekonyong-konyong Kami cabut, Kami turunkan siksa, sehingga mereka terdiam berputus asa.” (QS : 6:44)
Orang yang sudah tidak mempan peringatan Allah dan tegur sapa dari lingkungan hidupnya akan kehilangan semarak hidupnya karena selalu dicekam ketakutan dan tidak pernah merasakan ketentraman jiwa. Kapal hidupnya kehilangan kemudi, terapung-apung tak tentu arah dan akhirnya tenggelam di tengah kegelapan lautan kesulitan. Luqman Al Hakim mengambarkannya :
“Sesungguhnya kehidupan duniawi tidak ubahnya seperti anda mengarungi lautan yang ganas, lagi dalam. Maka perhatikanlah berapa banyak orang yang sudah tenggelam ke dasarnya, tanpa dapat muncul kembali. Karena itu bangunlah kapal kehidupan anda mengikuti kontruksi taqwa kepada Allah. Untuk memelihara stabilitasnya, muatilah kapal anda dengan muatan iman dan amal kebajikan karena Allah semata-mata. Bentangkanlah layar serta arahkanlah kemudi (kompas) dengan kemudi tawakkal kepada Allah. Semoga perjalanan kapal kehidupan anda mencapai pantai bahagia.”
Akhir perjalanan di dunia adalah mati. Maut yang memisahkan kita dari kesibukan sehari-hari mengumpulkan harta dunia dan maut juga menceraikan kita dari segala sesuatu yang kita cintai..
Orang yang selalu mengingat mati akan lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan, jalan yang menuju ridlo Allah dengan beramal mengikuti ketetapan-Nya dan sunnah Nabi-Nya atau memilih jalan menuju berma’shiyat kepada Allah dengan perbuatan yang mengikuti hawa nafsu sendiri. Dua jalur jalan hidup yang tidak pernah bersua di dunia dan tetap berpisah di akhirot nanti. Dua jenis ‘aqidah yang tidak berkumpul pada diri seseorang yang beriman. Kecuali bagi orang yang bermuka dua, orang yang berpucuk eru, mengikuti ke mana arah angin berhembus. Sindiran Allah dalam firman-Nya berbunyi :
“Allah menampilkan satu perumpamaan yaitu seseorang yang dikuasai oleh dua orang majikan berserikat, tetapi saling berbeda pendiriannya dibandingkan dengan seseorang yang sepenuhnya patuh kepada seorang penguasa saja. Samakah kedudukan kedua orang budak itu.” (QS; 39 : 29).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar