Selanjutnya, sebagai khalifah di muka bumi ini, kita dipilih untuk bertindak atas namaNya. Maka, kita menjadi instrument penyebaran CintaNya ke seluruh penjuru alam. Ibarat kran, diri kita menjadi rusak apabila memutuskan diri dengan sumber kasih-sayang (Ar-Rahman ar-Rahim) dan/atau gagal mengalirkannya kepada dunia.
Cinta berarti memberi atau melimpahkan. Cinta datang secara spontan tanpa perlu alasan. Justru dari sinilah semua bentuk alasan dibangun.
Cinta melimpah dari “bahasa diam” ke “bahasa diam”. Sebab bahasa tidak cukup dan cakap membicarakannya. Cinta mencakup semua kilasan pikiran pertama yang begitu kuat, tidak mudah dikemas dengan kata, namun merupakan mata air dari semua pengetahuan dan tindakan manusia.
Sedari lahir, kita telah memiliki sejumlah “hipotesis bawaan”. Namun, ia tidak muncul begitu saja ke permukaan. Apabila hipotesis bawaan itu telah muncul ke permukaan dan berpadu dengan tindakan yang terbukti membawa kebaikan, maka ia disebut “hikmah”. Hikmah, kata Nabi, ialah kebenaran di luar kenabian. Siapa saja yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebaikan yang berlimpah (QS. 2:269). “Hikmah adalah harta karun orang-orang yang beriman, di mana pun mendapatkannya, ia berhak untuk memilikinya,” kata Ali bin Abi Thalib.
Konsep-konsep yang tak mudah dilukiskan secara tepat, namun mengajak kita untuk mengalaminya secara langsung termasuk ke dalam ranah Cinta : diri sejati, spriritualiyas, kearifan, keindahan, moralitas, imajinasi, intuisi, panggilan jiwa, keingintahuan yang murni, dan lain-lain.
Jelas bahwa kekuatan cinta justru terletak pada pengalaman, bukan pada pembahasan dan pembahasaan. “Cinta tidak sirna hanya disebabkan ketidakmampuan pengungkapan; sebab bagian utama Cinta adalah hati, bukan rasio.
Bahasa Cinta
Cinta boleh jadi seakan-akan irasional, padahal tidak. Umumnya hati tergetar dulu, baru nalar mencari-cari alasan logisnya. Hal itu karena Cinta tumbuh dari kodrat manusia sedari lahir. Dan, ia telah hadir jauh sebelum kita belajar dan memiliki logika atau bahasa. Cinta lebih alamiah daripada logika, sama halnya air mata lebih alamiah daripada kosakata. Cinta hanya dapat dialami, kalaupun diucapkan selalu tidak tepat.
Di Atas Cinta Ada Tauhid
Cinta sejati hanya akan muncul dari diri sejati. Kita tidak mungkin dapat memberi Cinta sejati, yang murni dari pamrih apapun, apabila kita tidak lebih dulu mengosongkan diri dari sifat-sifat keakuan (egoisme). Sebab, keakuan menyumbat dan mengotori aliran kasih-sayang dariNya.
Sebagai aktivitas tertinggi, Cinta memerlukan sumber tertinggi pula : Tauhid. Pemahaman tentang tauhid (yakni bahwa hanya Dia yang Mahamutlak dan kita bukan apa-apa, bahwa realitas merupakan satu-kesatuan utuh yang tak terpisahkan) adalah prasyarat utama untuk menjaga dan memahami kemurnian Cinta. Ketika keberadaan diri hanya nol, yakni tidak mengandalkan diri sendiri apalagi orang lain, maka diri sepenuhnya bergantung kepadaNya. Kita melimpahkan cinta kepada dunia, karena Tuhan melimpahkan cinta kepada diri kita. Ketika itu pula Cinta tidak akan surut. Kepada dunia, Cinta adalah memberi dan memberi, dan hanya kepadaNya kita berharap untuk dicintai dan diberi.
Cinta Allah akan senantiasa mengalir bagi para hambaNya. Siang. Malam. Saat manusia terjaga. Saat manusia terlelap. Ketika manusia ingat. Ketika manusia khilaf. Tiap detik helaan nafas. Tiap hentakan langkah yang kita buat. Tiap waktu cinta Allah hadir selalu. Cinta tanpa titik akhir. Tanpa jeda. Cinta tanpa koma. Kita pun wajib membalasnya dengan upaya sekuat tenaga untuk memgkokohkan iman, memelihara perjuangan, tentunya diiringi doa dan ketulusan.
Cinta berarti memberi atau melimpahkan. Cinta datang secara spontan tanpa perlu alasan. Justru dari sinilah semua bentuk alasan dibangun.
Cinta melimpah dari “bahasa diam” ke “bahasa diam”. Sebab bahasa tidak cukup dan cakap membicarakannya. Cinta mencakup semua kilasan pikiran pertama yang begitu kuat, tidak mudah dikemas dengan kata, namun merupakan mata air dari semua pengetahuan dan tindakan manusia.
Sedari lahir, kita telah memiliki sejumlah “hipotesis bawaan”. Namun, ia tidak muncul begitu saja ke permukaan. Apabila hipotesis bawaan itu telah muncul ke permukaan dan berpadu dengan tindakan yang terbukti membawa kebaikan, maka ia disebut “hikmah”. Hikmah, kata Nabi, ialah kebenaran di luar kenabian. Siapa saja yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebaikan yang berlimpah (QS. 2:269). “Hikmah adalah harta karun orang-orang yang beriman, di mana pun mendapatkannya, ia berhak untuk memilikinya,” kata Ali bin Abi Thalib.
Konsep-konsep yang tak mudah dilukiskan secara tepat, namun mengajak kita untuk mengalaminya secara langsung termasuk ke dalam ranah Cinta : diri sejati, spriritualiyas, kearifan, keindahan, moralitas, imajinasi, intuisi, panggilan jiwa, keingintahuan yang murni, dan lain-lain.
Jelas bahwa kekuatan cinta justru terletak pada pengalaman, bukan pada pembahasan dan pembahasaan. “Cinta tidak sirna hanya disebabkan ketidakmampuan pengungkapan; sebab bagian utama Cinta adalah hati, bukan rasio.
Bahasa Cinta
Cinta boleh jadi seakan-akan irasional, padahal tidak. Umumnya hati tergetar dulu, baru nalar mencari-cari alasan logisnya. Hal itu karena Cinta tumbuh dari kodrat manusia sedari lahir. Dan, ia telah hadir jauh sebelum kita belajar dan memiliki logika atau bahasa. Cinta lebih alamiah daripada logika, sama halnya air mata lebih alamiah daripada kosakata. Cinta hanya dapat dialami, kalaupun diucapkan selalu tidak tepat.
Di Atas Cinta Ada Tauhid
Cinta sejati hanya akan muncul dari diri sejati. Kita tidak mungkin dapat memberi Cinta sejati, yang murni dari pamrih apapun, apabila kita tidak lebih dulu mengosongkan diri dari sifat-sifat keakuan (egoisme). Sebab, keakuan menyumbat dan mengotori aliran kasih-sayang dariNya.
Sebagai aktivitas tertinggi, Cinta memerlukan sumber tertinggi pula : Tauhid. Pemahaman tentang tauhid (yakni bahwa hanya Dia yang Mahamutlak dan kita bukan apa-apa, bahwa realitas merupakan satu-kesatuan utuh yang tak terpisahkan) adalah prasyarat utama untuk menjaga dan memahami kemurnian Cinta. Ketika keberadaan diri hanya nol, yakni tidak mengandalkan diri sendiri apalagi orang lain, maka diri sepenuhnya bergantung kepadaNya. Kita melimpahkan cinta kepada dunia, karena Tuhan melimpahkan cinta kepada diri kita. Ketika itu pula Cinta tidak akan surut. Kepada dunia, Cinta adalah memberi dan memberi, dan hanya kepadaNya kita berharap untuk dicintai dan diberi.
Cinta Allah akan senantiasa mengalir bagi para hambaNya. Siang. Malam. Saat manusia terjaga. Saat manusia terlelap. Ketika manusia ingat. Ketika manusia khilaf. Tiap detik helaan nafas. Tiap hentakan langkah yang kita buat. Tiap waktu cinta Allah hadir selalu. Cinta tanpa titik akhir. Tanpa jeda. Cinta tanpa koma. Kita pun wajib membalasnya dengan upaya sekuat tenaga untuk memgkokohkan iman, memelihara perjuangan, tentunya diiringi doa dan ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar