Kita manusia pada umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak
pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah segala perbuatan yang
ditujukan pada kebaikan. Banyak orang berlomba-lomba mencari
harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya
tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa
yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang
wajib.
Namun ada simpanan yang jauh
lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia
suguhkan untuk hari akhirat. Yaitu untuk suatu hari dimana tidak lagi
bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau
para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak
heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan
fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu.
Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah
lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi:
46)
Dan firman-Nya: “Apa yang di
sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96) Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang
disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita
adalah segala perbuatan yang telah kita suguhkan (infaq/sedekah) untuk
kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa di antara kalian yang
harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat)
menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya
lebih ia cintai.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah
suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR.
Al-Bukhari)
Dalam hadits ini ada anjuran
untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta
seseorang (semasa hidupnya) supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat
darinya di akhirat. Karena bila harta tersebut diwariskan kepada
keturunannya atau seseorang maka harta itu akan menjadi hak milik ahli
warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu.
Sedangkan yang mewariskannya hanya lelah mengumpulkannya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah
menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah
berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih
Sunan At-Tirmidzi no. 2470)
Maksudnya, apa yang kamu
sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar