Selasa, 25 Oktober 2011

Memaknai Qurban


Kalau kita membaca lebih jauh ayat-ayat al-Quran tentang taqorrub, maka kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih jauh dan mendalam yaitu bahwa ketakwaan dapat dicapai dengan dua jalan, vertikal dan horizontal. Secara vertikal dapat ditempuh dengan berhubungan langsung dengan Tuhan melalui rutual semisal shalat dan puasa. Sedangkan secara horizontal dapat dicapai dengan menjalin hubungan baik, jujur, adil terhadap sesama, dan semacamnya. . Keduanya harus menjadi kesatuan yang utuh untuk mencapai predikat takwa sejati.
Kaitannya dengan qurban, ritual ini juga tidak lepas dari dua dimensi tersebut. Secara vertikal, qurban merupakan salah satu media taqorrub dan mengingat Tuhan yang maha kaya dan maha pemberi. Sedangkan secara horizontal, qurban dapat dijadikan sarana untuk menumbuhkan keimanan dan ketakwaan sosial. Dalam dimensi myang kedua ini, qurban paling tidak memiliki tiga aspek: pertama, materiil. Aspek ini adalah aspek yang paling mudah difahami, oleh orang awam sekalipun.
Kedua, moril. Aspek ini dapat dilihat dari kesabaran, ketabahan, dan kerelaan seseorang untuk mengorbankan salah satu binatang ternaknya yang sulit dilakukan kecuali oleh orang yang benar-benar mantap keimanannya. Ketiga, spiritual. Spiritual disini mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang non materiil. Secara subtansial, aspek ini telah mencakup aspek moril sebagaimana disebutkan.Dalam aspek ini, Rasyid Ridha menyatakan bawha qurban melambangkan perjuangan ketakwaan dan kebenaran yang harus melibatkan kesabaran, ketabahan, dan pengorbanan. Ali Syari’ati menjelaskan lebih jauh, sebagaimana dikutip oleh Husein Muhammad, bahwa ibadah qurban yang diungkapkan dengan penyembelihan hewan qurban adalah symbol pembunuhan ego dan sifat-sifat kebinatangan yang melekat dalam diri umat manusia.Dengan paparan di muka, jelas bahwa qurban bukan hanya ibadah simbolik-formasiltik, akan tetapi qurban mengandung sesuatu yang sangat esensi berupa nilai-nilai esoteris-spiritualistis di samping juga nilai sosial yang terselubung di dalamnya. Kalau meminjam bahasa Zuhairi Misrawi: ibadah yang orientasinya melangit sekaligus membumi.
Dewasa ini, kehidupan manusia telah mengalami pergeseran hampir dalam setiap lini kehidupan. Kesejahteraan, perdamaian, keadilan sosial, yang merupakan cita-cita dan kometmen hidup mereka hanya berlaku dalam tataran wacana belaka sedangkan dalam prakteknya sangat nihil. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, kekerasan, pertikaian, korupsi, dan tindakan amoral lainnya tumbuh subur di bumi pertiwi ini.
Ironisnya, yang menjadi objek tindakan tersebut mayoritas adalah masyrakat akar rumput. Merekalah yang menjadi korban utama dan pertama dari segala pergeseran yang terjadi, baik dalam kehidupan beragama, budaya, sosial, lebih-lebih politik. Masih sangat lekat kiranya beberapa fenomena yang akhir-akhir ini terus memenuhi media massa semisal kasus lapindo, kelangkaan pupuk, korupsi, prediksi pemutusan hubungan kerja, korban banjir, dan problem lainnya. Intinya, akhir-akhir ini, sangat terasa bahwa bumi pertiwi ini bagaikan “dunia korban”. Pertanyaan yang muncul kemudian, siapakah yang akan rela berkorban untuk menyelesaikan problema keumatan tersebut?. Di sinilah kiranya hari idul qurban menemukan momentumnya.
Di awal tulisan telah dijelaskan bahwa qurban memiliki dimensi sosial. Dimensi itulah sepertinya yang dapat dijadikan sebuah refleksi terkait dengan fenomena “dunia korban” yang semakin tumbuh subur. Bagaimana hari qurban yang sudah di depan mata tidak hanya dilalui begitu saja, akan tetapi dijadikan landasan untuk menumbuhkan kometmen baru (new commitment) dalam memerhatikan fenomena sosial, utamanya terkait dengan problematika yang semakin kompleks, sehingga dengan demikian banyak orang yang rela berkorban untuk memerjuangkan kehidupan para korban sebagaimana Ibrahim mengorbankan anaknya untuk memerjuangkan keimanan dan ketakwaannya. Tidak lupa pula, momen ini bias dijadikan media untuk memberangus sifat-sifat kebinatangan yang masih lekat dalam setiap pribadi sebagaimana diungkapkan oleh Ali Syari’ati.
Sekali lagi semoga hari qurban tahun ini bukan hanya sekedar ritual usang yang tanpa makna, tapi benar-benar menjadi media untuk meningkatkan kepedulian kita pada sesama dan memiliki implikasi positif berupa revolusi keimanan dan ketakwaan yang tentu nantinya diharapkan dapat berpengaruh pada tindakan dan perilaku dalam konteks yang lebih riil dengan tanpa melupakan kevertikalan ritual ini. Berkorban bukan hanya memerjuangkan kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan sebagaimana tradisi dewasa ini, tapi berkorban untuk kepentingan masyarakat secara luas, khususnya mereka yang hidup di dalam “dunia korban”. Wallahu a’lamu bi al showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar